Kota Batang, menurut legenda yang
beredar di masyarakat, Batang berasal dari dua kata bahasa Jawa,
'ngembat' yang artinya mengangkat/mengambil dan 'watang' yang artinya
batang kayu. Perihal mengangkat batang kayu ini erat kaitannya dengan
perjuangan tentara Mataram melawan tentara Kompeni di Batavia.
Konon pada waktu kerajaan Mataram sedang mengusahakan kecukupan pangan (beras) untuk prajurit-prajurit yang akan mengadakan penyerangan ke Batavia untuk melawan kompeni, Bahurekso (tokoh panglima kerajaan Mataram) ditugaskan untuk membuka areal persawahan dengan menebang pohon-pohon di Hutan (jawa: alas) Roban.
Hambatan sangat banyak, banyak pekerja yang mati dalam membuka Hutan Roban karena diganggu oleh pengikut alam kegelapan berupa siluman-siluman yang dipimpin oleh Dadungawuk. Namun, berkat kesaktian Bahurekso, Dadungawuk dapat dikalahkan. Dadungawuk dan pengikutnya tidak akan mengganggu Bahurekso dan anak buahnya dengan persyaratan bahwa mereka dibagi hasil panen dari tanah tersebut.
Setelah pekerjaan membuka areal persawahan di Alas Roban selesai, tugas selanjutnya adalah mengusahakan perairan untuk areal sawah tersebut. Untuk ini, Bahurekso membuat bendungan untuk menampung air dari Kali Kramat. Bendungan yang telah selesai dibuat ini pun diusik oleh raja siluman Uling yang bernama Kolo Dribikso. Mengetahui pekerjaannya diganggu oleh siluman, Bahurekso pun turun tangan dan menyerang seluruh anak buah raja Uling yang bermarkas di kedung Kali Kramat (catatan: kedung adalah bagian dari sungai yang tanahnya turun ke bawah, sehingga lebih dalam dari sungainya). Korban berjatuhan di pihak raja Uling, darah menyembur sampai menyebabkan air kedung menjadi merah tua (Jawa: abang gowok). Oleh karena itu, kedung tersebut dinamai sebagai Kedung Sigowok.
Konon pada waktu kerajaan Mataram sedang mengusahakan kecukupan pangan (beras) untuk prajurit-prajurit yang akan mengadakan penyerangan ke Batavia untuk melawan kompeni, Bahurekso (tokoh panglima kerajaan Mataram) ditugaskan untuk membuka areal persawahan dengan menebang pohon-pohon di Hutan (jawa: alas) Roban.
Hambatan sangat banyak, banyak pekerja yang mati dalam membuka Hutan Roban karena diganggu oleh pengikut alam kegelapan berupa siluman-siluman yang dipimpin oleh Dadungawuk. Namun, berkat kesaktian Bahurekso, Dadungawuk dapat dikalahkan. Dadungawuk dan pengikutnya tidak akan mengganggu Bahurekso dan anak buahnya dengan persyaratan bahwa mereka dibagi hasil panen dari tanah tersebut.
Setelah pekerjaan membuka areal persawahan di Alas Roban selesai, tugas selanjutnya adalah mengusahakan perairan untuk areal sawah tersebut. Untuk ini, Bahurekso membuat bendungan untuk menampung air dari Kali Kramat. Bendungan yang telah selesai dibuat ini pun diusik oleh raja siluman Uling yang bernama Kolo Dribikso. Mengetahui pekerjaannya diganggu oleh siluman, Bahurekso pun turun tangan dan menyerang seluruh anak buah raja Uling yang bermarkas di kedung Kali Kramat (catatan: kedung adalah bagian dari sungai yang tanahnya turun ke bawah, sehingga lebih dalam dari sungainya). Korban berjatuhan di pihak raja Uling, darah menyembur sampai menyebabkan air kedung menjadi merah tua (Jawa: abang gowok). Oleh karena itu, kedung tersebut dinamai sebagai Kedung Sigowok.
Raja Uling marah melihat anak buahnya dikalahkan dan membalas dengan menyerang Bahurekso menggunakan pedang sakti Swedang. Karena kesaktian pedang itu, Bahurekso dapat dikalahkan. Atas nasehat ayahanda dari Bahurekso, siasat pun dijalankan untuk mengalahkan raja Uling. Bahurekso merayu adik raja Uling yang bernama Dribusowati untuk mendapatkan pedang sakti Swedang. Rayuan berhasil dan Dribusowati setuju untuk mengambilkan pedang sakti kakaknya itu untuk diserahkan kepada Bahurekso. Dengan pedang sakti itu, dengan mudah raja Uling dikalahkan. Dengan demikian, tidak ada lagi siluman yang merusak bendungan tersebut.
Satu masalah lagi yang harus dipecahkan agar bendungan itu dapat mengalirkan air ke areal persawahan karena nampaknya, air bendungan tidak mengalir lancar untuk melakukan tugasnya. Ternyata, ditemukan satu batang kayu (Jawa: watang) yang melintang menghalangi aliran air. Berpuluh-puluh orang berusaha mengangkat batang kayu tersebut namun tidak berhasil. Bahurekso pun menggunakan kesaktiannya untuk mengangkat/mengambil (Jawa: ngembat) batang kayu (Jawa: watang) tersebut dengan sekali angkat.
Demikianlah kisah asal muasal kota Batang. Dialek setempat menyebut Batang sebagai Mbatang.
0 komentar:
Posting Komentar